Thursday, July 14, 2011

Pemberontakan Dalam Islam

| |

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya [An-Nisa : 59]



A. Menurut Ulama Hanafiyah.

... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق...
حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )

"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).

B. Menurut Ulama Malikiyah

... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...
... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه...
شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)

Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…
Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).

C. Menurut Ulama Syafi’iyah


... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة...
لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار
ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )

Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).

... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع...
( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )

Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)

D. Menurut Ulama Hanabilah

... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع..
( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )

Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

E. Menurut Ulama Zhahiriyah

... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود
( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )

Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).

... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا
( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )

Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah

... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام...
( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )

Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.”(Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331). 


Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :
  1. pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
  2. adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
  3. mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).

    Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :

    وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...

    Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)

    Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).

    Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.

    Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).

    Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :

    مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )

    Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).

    Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut :

    ... هم الذين خرجوا على الدولة الإسلامية و لهم شوكة و منعة أي هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة و شهروا في وجهها السلاح و أعلنوا حربا عليها ...

    Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).



Nash-nash hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan mentaati waliyul amri adalah ketaatan dalam perkara ma’ruf bukan dalam perkara maksiatMereka tidak boleh mentaati penguasa jika mereka diperintahkan berbuat MAKSIAT. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara’) dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat”.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan bahawa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara ma’ruf dan kemungkaran :"Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami ?” Beliau menjawab : “Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah hak-hak kamu”.
Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu menuturkan : “Kami memba’iat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya” Beliau melanjutkan : “Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah [Al-Qur'an dan As-Sunnah]“
Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan memberontak mereka kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerosakan yang lebih parah dan kejahatan yang lebih besar sehingga keamanan negara akan berada dalam bahaya, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan (Penjenayah) tidak dapat ditawan, orang-orang yang dizalimi tidak dapat bantu dan lain-lain. Jelaslah bahwa memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat kekafiran (KEJAHILAN) yang nyata pada diri penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah), mereka dibolehkan memberontak penguasa tersebut dan menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak memiki kemampuan, mereka tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau jika pemberontakan akan menimbulkan kerosakan yang lebih besar, mereka tidak boleh melakukannya demi menjaga kemaslahatan umum. Kaedah syar’i yang disepakati bersama menyatakan : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar dari sebelumnya, akan tetapi wajib menolak kejahatan dengan cara yang dapat menghilangkannya atau meminimumkannya. Adapun menolak kejahatan dengan mendatangkan kejahatan yang lebih parah lagi tentu saja dilarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran itu memiliki kemampuan dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang Soleh dan baik tanpa menimbulkan kerosakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin, maka mereka boleh melakukannya.
Adapun jika pemberontakan tersebut menimbulkan kerosakan yang lebih besar, keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak teraniaya, terbunuhnya orang-orang yang tidak berhak dibunuh dan kerosakan-kerosakan lainnya, sudah pasti pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang. Akan tetapi jika pemberontakan itu dilakukan secara aman tanpa menggunakan senjata, ianya dibenarkan dalam islam.
Dalam situasi sedemikian rakyat dituntut banyak bersabar, patuh dan taat dalam perkara ma’ruf serta senantiasa menasihati penguasa dan mendoakan kebaikan bagi mereka. Serta sungguh-sungguh mengurangkan kejahatan dan menyebar nilai-nilai kebaikan. Itulah sikap sebenar yang wajib ditempuh. Cara seperti itulah yang dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin dan cara seperti itu juga dapat mengurangkan kejahatan dan meningkatkan kuantiti kebaikan. Maka, keamanan dapat terpelihara, keselamatan kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi. 

Menurut rujukan jelas dari kitab Fiqh Jinayat, karya Muhyiuddin Mukhtar menyatakan bahawa tidak dikatakan jenayah pemberontakan kecuali dengan beberapa perkara, antaranya:-

  1. Berkumpulnya jemaah islam yang menentang pemimpin mereka yang mana pemimpinnya tidak taat kepada syarak, erti kata lain yang membawa kepada maksiat. Contohnya seperti tidak menunaikan zakat atau qisas. Maka diwaktu itu rakyat berhak menentang kerajaan itu. Berbalik kepada firman Allah diatas tadi.
  2. Penentangan yang dilakukan atas hak asasi manusia itu sendiri. (Jelas seperti undang-undang yang digubal).
Jika kita lihat Malaysia sekarang, pelbagai spekulasi mengenai BERSIH kononnya ia adalah perhimpunan haram...HARAMKAH??? Apa bukti dan hujjah yang cukup untuk mengatakan perhimpunan BERSIh itu haram?? Dalil dan penjelasan rujukan Nas-nas Al-quran Hadis sudah jelas menyatakan tentang ini, namun segelintir manusia yang jahil hanya mengikut sahaja. 


Dalam undang-undang sendiri yang telah digubal menyatakan :

Perlembagaan dibentuk dengan tujuan berikut iaitu:-
• Mewujudkan satu bentuk pemerintahan yang adil;
Mengelakkan penyalahgunaan kuasa oleh pemerintah;
Mengawal pergerakan kerajaan dan rakyat;
• Alat untuk menyelesaikan masalah;
Menjamin riwayat negara bangsa; dan
Menjamin keamanan dan kestabilan negara.

Perlembagaan Malaysia mengandungi 131 Perkara yang menyentuh pelbagai aspek pemerintahan. Perlembagaan juga mengandungi 16 Bahagian. Bahagian-bahagian tersebut ialah:-


Bahagian II : Kebebasan Asasi
Bahagian ini menyatakan kebebasan-kebebasan asasi yang kita miliki; hak untuk hidup dan kebebasan; kebebasan daripada perhambaan dan menjadi buruh paksaan; kesamarataan di sisi undang-undang; kebebasan bergerak; kebebasan bercakap, berhimpun dan bersekutu; kebebasan agama; hak untuk berpendidikan; dan hak untuk memiliki harta.



Jelas bukan? Jadi, dimanakah letaknya keadilan undang-undang yang digubal oleh mereka sendiri yang menerimapakai sebagai undang-undang negara??


Mungkin anda sendiri bijak menilainya....
Kita memohon taufiq dan hidayah kepada Allah bagi segenap kaum muslimin.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Pesanan Hari Ini

“Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit maka mengakibatkan seluruh tubuh menjadi demam dan tidak bisa tidur.”

(Hadis riwayat Muslim)

“Seorang Muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, merendahkannya, menyerahkan (kepada musuh) dan tidak menghinakannya.”

(Hadis riwayat Muslim)

“Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-gerinya teringat mati.”

by Ahmad AlFateh