Oleh : Muhammad Syarief
Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 telah menjadi cahaya terang bagi umat Islam Indonesia. Azas tunggal yang selama beberapa dekade dijunjung tinggi lambat laun berhasil ditumbangkan, seiring bertambah cerahnya masa depan dakwah di tanah air. Hal ini takkan pernah terjadi tanpa adanya kerja keras yang melahirkan bibit-bibit unggulan. Satu hal yang menjadi catatan: bibit itu takkan pernah lahir tanpa adanya sosok seorang dai, yang tak mengenal letih dalam menyuarakan kebenaran. Di antara sosok itu adalah Ustad Rahmat Abdullah, sang juru dakwah yang pantang menyerah demi tegaknya Islam. Beliau lebih dikenal di kalangan aktivis dakwah sebagai syekh tarbiyah.
Setelah diterima di bangku kelas tiga MI, beliau kemudian ‘meloncat’ ke kelas lima. Saat itulah kali pertama beliau mengenal ilmu nahwu yang menjadi pelajaran favoritnya. Dengan ilmu itu, beliau akhirnya dapat memahami siaran radio berbahasa Arab “Shout Indonesia” yang disiarkan RRI saat itu. Selepas MI, Rahmat remaja melanjutkan studinya ke jenjang MTs di Ma’had yang sama. Di sini, beliau mulai belajar ushûlul fiqh, mushthalahul hadîts, psikologi, dan ilmu pendidikan. Namun, pelajaran yang beliau gemari adalah talaqqî, yang dibimbing langsung oleh K.H. Abdullah Syafi’i; sosok kiai karismatik yang memberikan banyak inspirasi. Pada saat itu juga, Rahmat muda pun mulai merintis dakwah, berkhidmah kepada umat dengan mengajar di Ma’had Asy-Syafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet, Kuningan. Hal ini beliau jalani selama bertahun-tahun, berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Tak jarang untuk memberikan les privat beliau pun harus melewati lorong-lorong Jakarta hingga larut malam. Namun keikhlasan senantiasa menyelimuti beliau, karena semangat dakwah sudah terpatri dalam dirinya.
Rahmat seorang santri yang cerdas, bersemangat baja, dan pantang menyerah, sehingga wajar kalau beliau kemudian dijadikan murid kesayangan K.H. Abdullah Syafi’i. Hingga pada tahun 1980, beliau bersama empat rekannya yang lain, sempat akan diberangkatkan ke Kairo untuk menempuh studi di Universitas Al-Azhar. Namun sayang, kesempatan itu gagal, karena ada ‘fitnah’ dari kalangan internal. Namun semangat Rahmat untuk belajar sedikit pun tak mengendur. Sejak beliau diperkenalkan K.H. Abdullah Syafi’i dengan seorang syekh dari Mesir, mulalilah beliau tertarik dengan pemikiran tokoh-tokoh Islam. Hasan Al-Banna, Sayyid Qutub, dan tokoh nasional seperti H.O.S. Cokroaminoto dan Muhammad Natsir, merupakah tokoh-tokoh Islam yang beliau kagumi. Dalam waktu singkat beliau melahap buku-buku mereka dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Beliau pun sempat berdiskusi dan berguru dengan tokoh nasional Muhammad Natsir, Mohammad Roem, dan Syafrudin Prawiranegara. Beliau pun mengaku mengadopsi metode orasi dari orator ternama Isa Ansari dan Buya Hamka, serta sang guru K.H. Abdullah Syafi’i.Kekaguman beliau kepada tokoh-tokoh mujahid itulah yang kemudian menjadikannya dai yang mempunyai keahlian luar biasa. Sebagian muridnya mengatakan beliau adalah tokoh yang unik, karena pemikirannya yang tidak hanya tertuju kepada skrip kitab-kitab klasik, tetapi juga terbuka dengan alur pemikiran kotemporer. Maka di sela-sela ceramahnya, kita pun menemukan perpaduan pemikiran klasik dan modern. Tak jarang kritikan tajam pun ia layangkan ke pemikiran kiri seperti Karl Marx.Keseriusan Rahmat dalam menggeluti dunia dakwah membuatnya lupa kalau usianya sudah menginjak kepala tiga.
Akhirnya, di usianya yang ke 32, Rahmat mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Sumarni, adik kelasnya ketika masih sekolah di Ma’had dulu. Pernikahan pun dilangsungkan pada tanggal 15 Ramadan 1405 H. (1984). Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai tujuh orang anak.Sekalipun sudah berkeluarga, bukan halangan bagi Rahmat untuk terus berkiprah dalam dunia dakwah. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin, dan beberapa tokoh pemuda Islam pada saat itu, mereka tergabung dalam Harakah Islamiyah di era 80-an; halaqah dakwah yang terinspirasi dari pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun yang didirikan Hasan Al-Banna. Inspirasi dakwah Hasan Al-Banna sebenarnya sudah lama menjadi acuan Rahmat Abdullah. Gayung pun bersambut. Beliau bertemu dengan rekan-rekannya yang seide dan sepemikiran. Bersama mereka, beliau berjuang melalui jalur pendidikan, kaderisasi, dan pengajian. Di wadah ini, Rahmat juga merintis sebuah majalah Islam yang banyak diminati pemuda Islam pada saat itu. Sayang, rezim orde baru yang berkuasa memaksa mereka untuk menutup segala aktivitas dakwahnya. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat Rahmat untuk membuka lembaran baru di dalam dunia dakwah. Setelah lama berpetualang di dunia dakwah, bersama muridnya pada tahun 1993, Rahmat mendirikan Islamic Center Iqra’; lembaga Islam yang bergerak dalam pengembangan dunia pendidikan dan sosial, di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Sejak saat itu kesibukannya bertambah padat, mengkaji kitab klasik dan juga kontemporer.
Sekalipun demikian, beliau tidak lupa untuk terus mengembangkan potensi diri. Membaca, mengkaji Alquran dan tafsir, hadis beserta syarah terus beliau tekuni.Pasca runtuhnya rezim orde baru, beliau terjun dalam dunia politik. Mungkin tak terbersit sedikit pun di benaknya untuk berkecimpung di dunia itu. Namun untuk kelangsungan dakwah, tugas itu pun akhirnya diemban. Pada tahun 1999, beliau diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan—partai yang didirikannya bersama dengan rekan-rekan seperjuangannya, setelah lebih sepuluh tahun dirintis bersama, yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Kemudian beliau beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera.Pada tahun 2004, karir politiknya kembali melejit. Beliau terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan pada pencalonan beliaulah pertama kalinya Bandung dimenangkan oleh partai Islam, sejak awal pemilu tahun 1955.Dai sekaligus budayawan. Itulah Rahmat Abdullah. Perjalanan hidupnya dalam menyelami lautan dakwah banyak beliau rangkai dalam untaian bait-bait syair, puisi, serta artikel-artikel kecil. Di kala muda, beliau kerap berlatih teater, bersama guru dan teman-teman seperjuangannya. Kepedulian beliau terhadap budaya memang tak boleh dipandang sebelah mata. Beliau mempunyai sumbangsih yang besar dalam proses islamisasi budaya (dakwah kultural) di tanah air. Dengan sahabat seperjuangannya, Abu Ridho (mantan wakil ketua MPP PK-Sejahtera), beliau memberikan warna baru dalam dinamika seni dan budaya Indonesia, tapi beliau tidak ingin disebut sebagai seorang seniman, sekalipun kemampuannya dalam hal seni tak diragukan.Dai, demonstran, budayawan, dan filosof ini akhirnya menduduki kursi ‘empuk’ DPR di komisi III. Bersuara lantang, kritis namun tetap sopan, itulah kesan yang didapat dari rekan-rekannya di Parlemen. Amanat di partai pun dengan penuh semangat beliau emban. Hingga di penghujung hayatnya, beliau diamanahkan sebagai Ketua Badan Penegak Organisasi Partai Keadilan Sejahtera.Ada yang datang dan ada yang pergi, itulah sunatullah. Selepas menyempurnakan wudlu untuk menunaikan salat Maghrib, beliau dipanggil menghadap Sang Khalik, Selasa, 14 Juni 2005. Beliau wafat pada usia 52 tahun. Umur yang tergolong muda untuk seorang politisi. Tidak seimbang memang dengan rambut kepala dan jenggotnya yang sudah memutih. Mujahid dari kampung Betawi ini wafat dengan meninggalkan istri dan tujuh orang anaknya.Kota Jakarta pun seakan menangis, mengucurkan hujan deras mengiringi kepergian beliau. Puluhan ribu muridnya tanpa kuasa menahan haru mengantarkan jenazahnya ke persemayaman terakhir. Syekh tarbiyah itu telah pergi, namun semangat dakwah yang diwariskan kepada murid-muridnya takkan memudar. Selamat jalan Ustad Rahmat…. Perjuangan yang telah lama engkau rintis ini, akan terus kami lanjutkan.
(Sinai Mesir)Sumber lain:-
tarbiyah-dzatiyah-kh-rahmat-abdullah