Sunday, June 26, 2011

Aqidah dan Ukhuwah

| |

  

Akhyar  dalam tulisan, posting hari ini,  “Belajar  dari Kekalahan  Perang  Uhud”, telah menyadarkan kita  kembali  betapa ummat  Islam di hari ini berada pada posisi yang  memprihatinkan, lemah,  lemah  hampir dalam setiap lapangan.  Perang  Teluk  yang makin  memecah-belah  ummat, demokrasi Aljazair,pembantaian  di Bosnia-Hercegovina, pengusiran di Myanmar, intifhadah  Palestina, Afghanistan.  Ummat Islam tersudut dan terus tersudut.  

Demokrasi yang sangat diagungkan di Inggris dan Amerika, hanyalah benar dan berlaku selama menguntungkan Barat, namun manakala kaum  muslimin yang menang, maka demokrasi hanyalah tinggal nama, telah terlucu ti maknanya. Maka demokrasi kental dalam makna “alat untuk mengu kuhkan  hegemoni Barat”, dan tidak untuk Aljazair. Ketika  perang Teluk berkobar, respon untuk membantu Quwait segera  berdatangan, dan  bayangkan  bagaimana sibuknya Amerika,  dengan  gaya  Polisi Dunia.  Bandingan  dengan kasus Palestina dan Bosnia.  Adilkah  ?  Jangan tanya soal keadilan disini. Sebab keadilan telah diperhambakan  pada hegemoni mereka, keadilan hanyalah untuk  kepentingan mereka.  Konsep  keadilan  yang murni telah  sirna.  Negara  kuat adalah negara kuat, negara lemah tidak akan pernah mempunyai  hak yang  sama  dengan negara kuat, meski  itu  tertulis  besar-besar dalam prasasti atau dokumen. Negara kuat apapun tindakannya dapat dikemas menjadi “keadilan”.

Ummat  di  hari ini dalam keadaan lemah;  kemampuan  militer, ekonomi,  ilmu  pengetahuan, dan kebudayaan  telah  terkubur  dan sepertinya  ingin  dilupakan, kalaupun tidak  maka  kini  menjadi nostalgia  manis  belaka.  Sejarah mencatat  betapa  ummat  Islam hampir-hampir   tidak  pernah  kalah  dalam  setiap   pertempuran fisik/militer,  meski dengan jumlah prajurit yang lebih  sedikit, bahkan imperium Romawi, yang besar, dikalahkan Jenderal  Shalahu din dalam Perang Salib. Ilmu pengetahuan dan budaya Islam  memim pin  dunia lebih dari 600 tahun; 350 tahun sebelum tahun  1100  M dan 250 tahun setelah tahun 1100 M. Karya tenun Persia,  arsitek tur  Islam,  bahkan  cerita seribu satu  malam  seperti;  Aladin, Simbad, Ali Baba, Abu Nawas, memukau banyak budayawan Barat.

Pertanyaannya,  mengapa  ummat  terdahulu  demikian   anggun, cemerlang,  bayangkan pemerintahan Islam di Cordoba, Spanyol  dan kini menjadi lemah dan sangat lemah, bahkan terinjak dan  dihina bang  ummat Islam ? Jawaban dari pertanyaan ini hendaklah  muncul dari perenungan diri, perenungan atas masa lampau, masa kini, dan peran yang diemban ummat untuk masa depan.

Ummat  terdahulu lebih perduli akan ayat-ayat  Allah.  Ketika mereka  diperintahkan  untuk  menafakuri  ciptaan  Allah,  mereka berfikir  dan  hasilnya adalah Iptek. Rasa cinta  pada  Al  Islam muncul dalam karya-karya arsitektur masjid, tenunan dll.  Diyaki ni, bahwa kemenangan PASTI Allah berikan kepada orang-orang  yang beriman  hanya  dan  hanya bila  orang-orang  beriman  menjadikan Allah,  rasul-Nya, dan orang-orang beriman sebagai  penolong  dan tidak pada toghut.

“Dan barang siapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang PASTI menang “  (Qur’an 5:56)

Nah, selama ummat Islam hari ini tidak melaksanakan  perintah ini, maka menjadi wajar kalau menjadi kalah dalam setiap lapangan baik  fisik maupun intelektual. Andaipun kemenangan yang  datang, maka  itu bukanlah kemenangan yang haq.  Sesungguhnya  kemenangan yang haq itu hanya akan muncul setelah Allah dan rasul-Nya menan cap kokoh dalam sanubari seorang mukmin, menjadikan Allah sebagai ilah  dan  rasul-Nya  sebagai tauhidul  uswah,  serta  menjadikan orang-orang  beriman sebagai saudara—ukhuwah. Ummat  Islam  akan selalu menang selama 2 potensi Islam: aqidah dan ukhuwah dimiliki dan mewujud dalam realitas.

Islam  dengan potensi ukhuwahnya, dalam sejarah  terbuktikan, mampu  mempersatukan suku-suku Quraish, mendamaikan suku Aus  dan Khazraj di Madinah yang sebelumnya selalu bermusuhan. Suku,  ras, dan bangsa memang telah ada di bumi dan merupakan sunatullah  (Al Hujarat:13), namun Islam menolak faham yang menempatkan loyalitas tertinggi,  pengabdian, pada ras, suku, atau bangsa.  Ras,  suku, atau bangsa tidak layak untuk itu. Loyalitas tertinggi, pengabdi an  hanya  untuk Allah. Berperang bukan  untuk  menjadi  pahlawan bangsa,  tapi  sebagai syuhada, berperang di jalan  Allah,  untuk mempertahankan aqidah. Suku Aus setelah memeluk Islam tetap  suku Aus  begitupula suku Khazraj. 

Namun setelah  mereka  bersyahadat, menyatakan  hanya Allah saja tempat pengabdian, hanya Allah  saja yang  berhak  menerima loyalitas tertinggi, maka  suku  Aus  atau Khazraj  adalah  sama, sama-sama hamba Allah, dan  hanyalah  yang bertaqwa  yang kedudukannya tinggi di hadapan Allah, mereka  ter pautkan dalam tali aqidah, dan mereka tidak lagi menganggap bahwa suku  mereka  lebih baik dari suku yang lain. Ras,  suku,  bangsa hanyalah  soal  ruang, geografis, dan administratif  dan  mencair akan  cahaya  aqidah,  ukhuwah, serta aturan Al  Islam.  Tak  ada perbedaan antara Salman Al Parisi, yang dari persia, atau Hudzai fah  al Yamani (yang berasal dari Yaman). Suku, Ras, atau  bangsa bukanlah perbedaan yang berarti dalam Islam.

Potensi  ukhuwan sendiri muncul mengikuti potensi aqidah  dan ukhuwah  merupakan  ni’mat yang Allah berikan, yang  muncul  atas kehendak Allah.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada TALI ALLAH, dan janganlah  kamu  bercerai-berai, dan ingatlah  akan ni’mat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa  jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu MENJADILAH KAMU KARENA NI’MAT ALLAH orang-orang yang BERSAUDARA “ (Qur’an  3:103)

Allah   memmerintahkan orang-orang yang beriman  untuk  berpegang pada tali-tali Allah, tali aqidah, buhul tali yang amat kuat yang tidak  akan  putus (Qur’an  2:256), buhul tali  yang  mengalahkan bukan  saja kesamaan ras, suku, atau bangsa, bahkan mampu  menga lahkan  pertalian darah (kisah ketika Rasulullah hijrah ke  Madi nah,  banyak  kaum  muslimin Mekkah  yang  terpaksa  meninggalkan keluarga, saudara sedarah demi tali aqidah ). Lalu manakala  hati setiap mukmin telah terikat pada tali aqidah yang tungal, seorang mukmim sudah demikian yakin bahwa hanya Allah saja yang dia tuju, ridla  Allah saja yang dia harap, hanya Allah saja  wa’la,  ilah, Khalik,  Malik, Hakim, Pemberi Rizki manusia, barulah Allah  akan menurunkan  ni’mat-Nya  berupa persaudaraan,  ukhuwah  Islamiyah.  Hanya Allah saja yang mampu mempersatukan hati setiap mukmin.

“ walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada
di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka (orang-orang beriman), akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka “
(Qur’an 8:63)

Dengan demikian ukhuwah adalah persaudaraan aqidah, persauda raan hati, bukan sekedar persaudaarn fisik apalagi lisan—persaudaraan  yang  menyatukan ummat sebagai jasad yang  tunggal.  Maka saudara-saudara di Bosnia, Palestina dll. tak berbeda dengan diri kita  sendiri,  dengan sanak famili kita, dengan  bapak/ibu  atau anak-anak kita.

Akhirnya  mari  kita bermuhasabah, untuk menilai  diri  kita, sudahkah aqidah tauhid ini tegak dalam diri kita, sudahkah ni’mat ukhuwah  meresapi hati dan pori-pori badan kita,  sudahkah  tali-tali Allah merapatkan kita dalam barisan yang teratur seakan-akan seperti  bangunan  yang kokoh yang sangat disukai Allah  ?  Kalau ummat  di  hari ini masih lebih mencintai  kaum  keluarga,  harta kekayaan/materi, perniagaan dari pada Allah, rasul-Nya, dan jihad di  jalan-Nya, maka tunnggulah sampai Allah mendatangkan  keputu san-Nya,  kekalahan  beruntun,  terinjak,  dan  terhinakan  dalam setiap lapangan, sampai Allah menurunkan suatu kaum dimana  Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, beriskap lemah  lembut terhadap  orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap  orang yang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. (Qur’an 9:24 dan 5:54).

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Pesanan Hari Ini

“Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit maka mengakibatkan seluruh tubuh menjadi demam dan tidak bisa tidur.”

(Hadis riwayat Muslim)

“Seorang Muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya, merendahkannya, menyerahkan (kepada musuh) dan tidak menghinakannya.”

(Hadis riwayat Muslim)

“Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-gerinya teringat mati.”

by Ahmad AlFateh