Akhyar dalam tulisan, posting hari ini, “Belajar dari Kekalahan Perang Uhud”, telah menyadarkan kita kembali betapa ummat Islam di hari ini berada pada posisi yang memprihatinkan, lemah, lemah hampir dalam setiap lapangan. Perang Teluk yang makin memecah-belah ummat, demokrasi Aljazair,pembantaian di Bosnia -Hercegovina, pengusiran di Myanmar , intifhadah Palestina , Afghanistan . Ummat Islam tersudut dan terus tersudut.
Demokrasi yang sangat diagungkan di Inggris dan Amerika, hanyalah benar dan berlaku selama menguntungkan Barat, namun manakala kaum muslimin yang menang, maka demokrasi hanyalah tinggal nama, telah terlucu ti maknanya. Maka demokrasi kental dalam makna “alat untuk mengu kuhkan hegemoni Barat”, dan tidak untuk Aljazair. Ketika perang Teluk berkobar, respon untuk membantu Quwait segera berdatangan, dan bayangkan bagaimana sibuknya Amerika, dengan gaya Polisi Dunia. Bandingan dengan kasus Palestina dan Bosnia . Adilkah ? Jangan tanya soal keadilan disini. Sebab keadilan telah diperhambakan pada hegemoni mereka, keadilan hanyalah untuk kepentingan mereka. Konsep keadilan yang murni telah sirna. Negara kuat adalah negara kuat, negara lemah tidak akan pernah mempunyai hak yang sama dengan negara kuat, meski itu tertulis besar-besar dalam prasasti atau dokumen. Negara kuat apapun tindakannya dapat dikemas menjadi “keadilan”.
Ummat di hari ini dalam keadaan lemah; kemampuan militer, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan telah terkubur dan sepertinya ingin dilupakan, kalaupun tidak maka kini menjadi nostalgia manis belaka. Sejarah mencatat betapa ummat Islam hampir-hampir tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran fisik/militer, meski dengan jumlah prajurit yang lebih sedikit, bahkan imperium Romawi, yang besar, dikalahkan Jenderal Shalahu din dalam Perang Salib. Ilmu pengetahuan dan budaya Islam memim pin dunia lebih dari 600 tahun; 350 tahun sebelum tahun 1100 M dan 250 tahun setelah tahun 1100 M. Karya tenun Persia, arsitek tur Islam, bahkan cerita seribu satu malam seperti; Aladin, Simbad, Ali Baba, Abu Nawas, memukau banyak budayawan Barat.
Pertanyaannya, mengapa ummat terdahulu demikian anggun, cemerlang, bayangkan pemerintahan Islam di Cordoba, Spanyol dan kini menjadi lemah dan sangat lemah, bahkan terinjak dan dihina bang ummat Islam ? Jawaban dari pertanyaan ini hendaklah muncul dari perenungan diri, perenungan atas masa lampau, masa kini, dan peran yang diemban ummat untuk masa depan.
Ummat terdahulu lebih perduli akan ayat-ayat Allah. Ketika mereka diperintahkan untuk menafakuri ciptaan Allah, mereka berfikir dan hasilnya adalah Iptek. Rasa cinta pada Al Islam muncul dalam karya-karya arsitektur masjid, tenunan dll. Diyaki ni, bahwa kemenangan PASTI Allah berikan kepada orang-orang yang beriman hanya dan hanya bila orang-orang beriman menjadikan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang beriman sebagai penolong dan tidak pada toghut.
“Dan barang siapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang PASTI menang “ (Qur’an 5:56 )
Nah, selama ummat Islam hari ini tidak melaksanakan perintah ini, maka menjadi wajar kalau menjadi kalah dalam setiap lapangan baik fisik maupun intelektual. Andaipun kemenangan yang datang, maka itu bukanlah kemenangan yang haq. Sesungguhnya kemenangan yang haq itu hanya akan muncul setelah Allah dan rasul-Nya menan cap kokoh dalam sanubari seorang mukmin, menjadikan Allah sebagai ilah dan rasul-Nya sebagai tauhidul uswah, serta menjadikan orang-orang beriman sebagai saudara—ukhuwah. Ummat Islam akan selalu menang selama 2 potensi Islam: aqidah dan ukhuwah dimiliki dan mewujud dalam realitas.
Islam dengan potensi ukhuwahnya, dalam sejarah terbuktikan, mampu mempersatukan suku-suku Quraish, mendamaikan suku Aus dan Khazraj di Madinah yang sebelumnya selalu bermusuhan. Suku, ras, dan bangsa memang telah ada di bumi dan merupakan sunatullah (Al Hujarat:13), namun Islam menolak faham yang menempatkan loyalitas tertinggi, pengabdian, pada ras, suku, atau bangsa. Ras, suku, atau bangsa tidak layak untuk itu. Loyalitas tertinggi, pengabdi an hanya untuk Allah. Berperang bukan untuk menjadi pahlawan bangsa, tapi sebagai syuhada, berperang di jalan Allah, untuk mempertahankan aqidah. Suku Aus setelah memeluk Islam tetap suku Aus begitupula suku Khazraj.
Namun setelah mereka bersyahadat, menyatakan hanya Allah saja tempat pengabdian, hanya Allah saja yang berhak menerima loyalitas tertinggi, maka suku Aus atau Khazraj adalah sama, sama-sama hamba Allah, dan hanyalah yang bertaqwa yang kedudukannya tinggi di hadapan Allah, mereka ter pautkan dalam tali aqidah, dan mereka tidak lagi menganggap bahwa suku mereka lebih baik dari suku yang lain. Ras, suku, bangsa hanyalah soal ruang, geografis, dan administratif dan mencair akan cahaya aqidah, ukhuwah, serta aturan Al Islam. Tak ada perbedaan antara Salman Al Parisi, yang dari persia , atau Hudzai fah al Yamani (yang berasal dari Yaman). Suku, Ras, atau bangsa bukanlah perbedaan yang berarti dalam Islam.
Potensi ukhuwan sendiri muncul mengikuti potensi aqidah dan ukhuwah merupakan ni’mat yang Allah berikan, yang muncul atas kehendak Allah.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada TALI ALLAH, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu MENJADILAH KAMU KARENA NI’MAT ALLAH orang-orang yang BERSAUDARA “ (Qur’an 3:103)
Allah memmerintahkan orang-orang yang beriman untuk berpegang pada tali-tali Allah, tali aqidah, buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus (Qur’an 2:256), buhul tali yang mengalahkan bukan saja kesamaan ras, suku, atau bangsa, bahkan mampu menga lahkan pertalian darah (kisah ketika Rasulullah hijrah ke Madi nah, banyak kaum muslimin Mekkah yang terpaksa meninggalkan keluarga, saudara sedarah demi tali aqidah ). Lalu manakala hati setiap mukmin telah terikat pada tali aqidah yang tungal, seorang mukmim sudah demikian yakin bahwa hanya Allah saja yang dia tuju, ridla Allah saja yang dia harap, hanya Allah saja wa’la, ilah, Khalik, Malik, Hakim, Pemberi Rizki manusia, barulah Allah akan menurunkan ni’mat-Nya berupa persaudaraan, ukhuwah Islamiyah. Hanya Allah saja yang mampu mempersatukan hati setiap mukmin.
“ walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada
di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati
mereka (orang-orang beriman), akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka “
(Qur’an 8:63)
Dengan demikian ukhuwah adalah persaudaraan aqidah, persauda raan hati, bukan sekedar persaudaarn fisik apalagi lisan—persaudaraan yang menyatukan ummat sebagai jasad yang tunggal. Maka saudara-saudara di Bosnia, Palestina dll. tak berbeda dengan diri kita sendiri, dengan sanak famili kita, dengan bapak/ibu atau anak-anak kita.
Akhirnya mari kita bermuhasabah, untuk menilai diri kita, sudahkah aqidah tauhid ini tegak dalam diri kita, sudahkah ni’mat ukhuwah meresapi hati dan pori-pori badan kita, sudahkah tali-tali Allah merapatkan kita dalam barisan yang teratur seakan-akan seperti bangunan yang kokoh yang sangat disukai Allah ? Kalau ummat di hari ini masih lebih mencintai kaum keluarga, harta kekayaan/materi, perniagaan dari pada Allah, rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunnggulah sampai Allah mendatangkan keputu san-Nya, kekalahan beruntun, terinjak, dan terhinakan dalam setiap lapangan, sampai Allah menurunkan suatu kaum dimana Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, beriskap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang yang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. (Qur’an 9:24 dan 5:54).
0 comments:
Post a Comment